Semakin Sedikit Jam Kerja Karyawan, Semakin Besar Peluang Bumi Terselamatkan

Semakin Sedikit Jam Kerja Karyawan, Semakin Besar Peluang Bumi Terselamatkan – Jika setiap orang di dunia ini mengonsumsi bahan bakar, makanan, pakaian, dan bahan bangunan dalam jumlah yang sama dengan orang – orang Eropa, maka kita membutuhkan setidaknya bumi yang 2,8 kali lebih besar. Jika setiap orang menerapkan gaya hidup masyarakat di Amerika Serikat, maka dibutuhkan lima plannet setara dengan bumi.

Ditengah perjalanna pergi pulang menggunakan komuter, beragam cara mendapat dan menghabiskan uang, tak terbantahkan lagi bahwa kita sebenarnya menjalani hidup yang tidak berkelanjutan. Tanggal 29 Juli lalu kita melalui ‘Hari Melampaui Batas’ yang datang lebih dini dari perkiraan. Itu adalah hari ketika kebutuhan atas sumber daya alam lebih besar ketimbang yang dapat disediakan bumi dalam setahun. slot indonesia

Merujuk penelitian wadah pemikir internasional, Global Footprint Network, tahun 1972 adalah terakhir kalinya kita mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya alam tercapai pada bulan Desember. Belakangan ada gagasan unik untuk mengatasi persoalan itu. Kita hanya perlu mengurangi beban kerja. Tujuannya, memperlambat perekonomian global dan membatasi nafsu konsumsi yang seolah tak terbatas. Namun apakah strategi itu mungkin diterapkan? Dan benarkah ide itu dapat menyelamatkan dunia? https://www.americannamedaycalendar.com/

Tidak Ada yang Dapat Tumbuh Tanpa Batas

Semakin Sedikit Jam Kerja Karyawan, Semakin Besar Peluang Bumi Terselamatkan

Mengubah kebiasaan kerja dalam skala global adalah pekerjaan besar. Warga AS rata-rata bekerja 44 jam dalam satu pekan dan hanya menerima 10 hari libur. Di China, 72 jam kerja selama 6 hari adalah hal yang dianggap biasa. Sementara jam kerja panjang di Jepang memunculkan terminologi baru, yaitu karoshi alias tewas akibat bekerja terus-menerus. Bagaimanapun, analisis dari University of Massachusetts menyatakan, “bekerja lebih sedikit berdampak positif bagi lingkungan.”

Kajian itu memiliki premis, jika kita mengurangi jam kerja hingga 10%, jejak karbon kita akan turun 14,6%. Angka itu muncul dari jumlah perjalanan rumah-kantor dan konsumsi makanan cepat saji yang berkurang. Yang lebih drastis, libur selama satu pekan penuh dianggap akan mengurangi jejak karbon hingga 30%. Kita kerap menyalahkan korporasi besar atas perubahan iklim yang terjadi. Namun konsumsi serta cara kita hidup dan bekerja sebenarnya merupakan sumber utama emisi global.

Penelitian lintas negara menemukan data, bahwa barang yang kita beli bertanggung jawab pada lebih dari 60% gas rumah kaca dan 80% penggunaan air bersih. Kajian itu dilakukan Norwegian University of Science and Technology. Mereka berupaya menemukan dampak konsumsi manusia pada lingkungan. Namun pertumbuhan konsumsi adalah tumpuan utama perkonomian. Merujuk buku yang ditulis Profesor Tim Jackson dari University of Surrey, Prosperity Without Growth, perekonomian global tumbuh 3,65% setiap tahun sejak 1950.

Dengan kata lain, perekonomian global akan 200 kali lebih besar pada 2100 ketimbang tahun 1950. Pertumbuhan itu bahkan bisa 326 lebih besar jika banyak negara berkembang melesat di atas angka rata-rata tadi. “Perekonomian yang tidak berkembang adalah kutukan bagi pelaku ekonomi,” demikian tulis Jakcson dalam bukunya. “Tapi gagasan pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak adalah kutukan bagi pegiat lingkungan. Tidak ada turunan dari sistem terbatas yang dapat berkembang tanpa batas,” kata Jackson.

Bagaimanapun, ada dua dua gagasan yang sailng bertolak belakang tentang upaya menyelamatkan bumi dengan cara mengurangi beban kerja manusia. Penyokong ‘ekonomi hijau’ yakin upah kita tak akan berkurang dan perekonomian tetap dapat bertumbuh meski ada potongan kecil atas jam kerja serta efisiensi tekonologi dan energi. Di sisi lain, mereka yang menolak pertumbuhan ekonomi yakin bahwa hanya pemotongan upah dan hari kerja yang dapat mewujudkan nol emisi karbon pada tahun 2050.

Pendukung Ekonomi Hijau

Semakin Sedikit Jam Kerja Karyawan, Semakin Besar Peluang Bumi Terselamatkan

Gagasan hari kerja yang lebih pendek dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan mulai mendapat dukungan. Tahun 2018, nyaris satu jua buruh industri baja di Jerman meraih hak untuk hanya bekerja 28 jam dalam sepekan–turun dari yang sebelumnya 35 jam.

Sementara itu, Partai Buruh di Inggris memainkan wacana empat hari kerja dalam satu minggu. Will Stronge, pendiri sekaligus direktur Autonomy, lembaga pengkaji mata pencaharian masa depan, mengklaim diri sebagai penyokong sistem ekonomi hijau.

Stronge merujuk pengurangan jam kerja pegawai pos Inggris, dari 39 jam menjadi 35 jam per minggu, dengan standar upah yang tidak menurun. “Di banyak perusahaan, jika Anda berkata akan memotong upah dengan kompensasi tambahan hari libur, kebanyakan pekerja tetap tidak akan bisa menerimanya,” kata Stronge.

Dari sudut pandang lingkungan, Stronge berkata, “konsumsi listrik secara nasional turun signifikan saat akhir pekan dan hari libur perbankan.” Ia ingin menekankan, efisiensi energi dapat dicapai dengan pengurangan jam kerja. Penyokong ‘ekonomi hijau’ lainnya adalah Alice Martin. Ia merupakan kepala bidang pekerjaan dan pengupahan di New Economics Foundation. Martin yakin, ada bukti sahih penurunan emisi karbon jika Anda mengurangi jam kerja sekaligus menjaga standar upah.

Mengurangi 20% jam kerja karyawan, kata dia, menurunkan emisi karbon dalam persentase yang sama. Dasar argumentasinya adalah perubahan perilaku seperti mengurangi perjalanan, menyantap makanan rumahan ketimbang pangan cepat saji, hingga bergiat dalam pekerjaan sukarela. “Memiliki waktu lebih banyak untuk melakukan hal yang Anda senangi dapat mengubah pola hidup dan secara nyata menyetop konsumsi produk berkarbon tinggi,” kata Martin.

Meski begitu, kebalikan dari argumentasi itu juga benar. Empat hari kerja mendorong kita memasak di rumah. Dengan kata lain, kita sebenarnya juga meningkatkan konsumsi, baik berbelanja sembako, jajan, atau berlibur.

Anti Pertumbuhan Ekonomi

Kelompok ini yakin satu-satunya cara mengurangi konsumsi adalah dengan memiliki sedikit uang tunai. Mereka menerima sistem empat hari kerja, tapi dengan jumlah upah yang sesuai. Gagasan ini adalah pendapat ekonomi yang radikal, bahkan sesat. Produk domestik bruto (PDB) berdampak besar sejak tahun 1930- an seiring perhitungan global tentang kesuksesan ekonomi. Bagaimanapun, di planet dengan sumber daya terbatas, pertumbuhan tanpa batas merupakan perhitungan yang keliru. Tahun 1972, laporan tentang simulasi komputer pada perkembangan ekonomi dan populasi menemukan bahwa sumber daya alam akan habis tahun 2072.

Kajian yang diterbitkan pada buku laris berjudul Limits to Growth itu menyebut, kondisi itu bakal memicu penurunan drastis populasi dan kapasitas ekonomi. Namun kebijakan publik tetap berpaku pada keyakinan umum. Konsumsi gabungan dari negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) meningkat hampir 50% selama 1990-2008. Setiap kenaikan PDB sebesar 10% setara dengan melonjaknya jejak karbon sampai 6%.

Gerakan anti-pertumbuhan ekonomi modern muncul di Eropa seiring pelaksanaan International Degrowth Conference di Paris tahun 2008. Mereka mendorong publik untuk mulai menyusutkan ekonomi secara terkendali, salah satunya dengan mengurangi jam kerja. Namun pendekatan itu tidak membenarkan resesi dan penyusutan lapangan kerja. Salah satu pentolan kelompok ini, Serge Latouche, berkata, “perlambatan ekonomi tidak berarti kemerosotan dan penderitaan.”

Continue Reading

Share