Industri Halal Sekedar Label atau Gaya Hidup?

Industri Halal Sekedar Label atau Gaya Hidup? – Pemerintah baru saja meluncurkan rencana induk dan panduan pengembangan ekonomi syariah ke depan. Karenanya, bukan kebetulan label ‘halah’ semakin sering banyak ditemui, mulai dari makanan dan minuman halal, pariwisata halal, hingga halal park.

Namun pegiat industri syariah berharap, pengembangan industri halah tidak sekedar label untuk kepentingan politik. Indonesia menjadi rumah bagi penduduk muslim terbanyak di dunia, namun industri halal di dalam negeri masih kalah jauh ketimbang negara tengga, seperti Malaysia. premium303

Industri Halal Sekedar Label atau Gaya Hidup?

Populasi muslim yang sangat besar menghadirkan potensi sistem ekonomi yang berdasarkan syariah ekonomi yang berfokus pada prinsip – prinsip keadilan dan kebaikan bagi semua tanpa terbatas pada kalangan muslim saja. Halal Park yang baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo, April silam, diharapkan menjadi destinasi wisata halal sekaligus sentra aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rekreasi dan produk-produk berbasis syariah.

Mulai dari industri, jasa keuangan dan investasi, makanan halal, pariwisata halal, media digital, farmasi dan kosmetik halal, juga fesyen muslim. Setidaknya, lebih dari 30 gerai produk syariah kini memasarkan dagangannya di Halal Park. Salah satu pelaku industri fesyen halal yang membuka gerainya di Halal Park adalah L’mira Ethnique, butik busana yang mengombinasikan busana syari dan kain etnik.

Namun, asisten desainer L’mira Ethnique, Syarifa Desi, mengaku sebulan sejak dibuka, Halal Park masih sepi pengunjung. “Mungkin karena masih merintis jadi prosesnya masih panjang, karena orang-orang masih belum tahu Halal Park itu apa, letaknya di mana,” ujar Syarifa ketika ditemui di Halal Park yang berlokasi di Senayan, Jakarta. “Mungkin lebih ke bagaimana ngembangin market di sini karena kan kalau kita terbiasa bisnis online yang memang enggak harus keluar effort lebih,” imbuhnya.

Ketika meresmikan Halal Park, bulan lalu, Presiden Joko Widodo menyebut tempat ini sebagai embrio pembangunan Halal Disrict yang juga akan dibangun di lokasi yang sama, dengan nilai investasi Rp250 miliar. Halal Park diharapkan akan menjadi ekosistem para pelaku bisnis yang bergerak pada industri halal dari hulu ke hilir yang tidak hanya sebatas pada bidang bisnis fashion dan makanan dan minuman, tetapi juga bidang lain seperti pariwisata dan pendidikan.

Peta jalan pengembangan

Pemerintah terlihat semakin serius menggenjot ekonomi syariah dengan meluncurkan peta jalan ekonomi syariah pada Selasa (14/05). Presiden Joko Widodo menyebut Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi ekonomi terkuat keempat atau kelima di dunia pada tahun 2045. Salah satu kunci untuk mencapai cita-cita tersebut adalah ekonomi syariah.

“Ekonomi syariah sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional, ekonomi syariah sebagai sumber kesejahteraan umat,” ujarnya.

Dia menjelaskan ekonomi syariah memiliki potensi besar di tingkat global, diperkirakan jumlahnya pada 2023 akan mencapai US$3 triliun, sekitar Rp 45 ribu triliun rupiah.

“Ini sebuah kekuatan besar yang harus dilihat dan harus kita mulai pikirkan untuk mengambil kue ekonomi yang begitu besar ini,” kata dia.

Kajian bertajuk The State of The Global Islamic Economies 2018-2019 melaporkan, total belanja masyarakat muslim dunia pada tahun 2017 di berbagai sektor halal seperti makan minuman halal, farmasi dan kosmetik halal, busana dan wisata halal, media hiburan halal, dan keuangan syariah mencapai US$ 2,1 triliun. Angka itu setara 0,27 persen dari total produk bruto dunia.

Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya hingga mencapai US$ 3 triliun pada 2023, linier dengan pertumbuhan penduduk muslim dunia. “Saatnya sudah tiba bagi kita untuk membangkitkan potensi ekonomi syariah di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah terkemuka di dunia karena kita memang negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.”

Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengatakan, dalam konteks Indonesia, banyak kontribusi yang bisa dihasilkan dan diberikan dari sektor halal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, mengingat jumlah populasi muslim di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia.

Sayangnya, populasi tersebut masih menjadi konsumen. Padahal Indonesia bisa memiliki peran lebih sebagai produsen dan eksportir terbesar dari produk dan jasa halal dunia. Dia melanjutkan, pengembangan ekonomi syariah bukan hanya pengembangan keuangan, tapi juga melibatkan berbagai sektor lainnya sebagai integrasi sistem ekonomi berlandaskan syariah.

Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan agar pertumbuhan di sektor keuangan syariah memiliki dampak langsung dan signifikan pada pertumbuhan di sektor riil, fokus utama dalam perkembangan ekonomi Islam.

Kendala yang dihadapi

Bambang Brodjonegoro menjelaskan lemahnya regulasi dan fasilitas menyebabkan pengembangan ekonomi syariah di dalam negeri terkendala. “Bahkan cenderung tumpang tindih,” ujarnya.

Selain itu, rendahnya pemahaman masyarakat akan produk dan jasa halal, rendahnya keterhubungan sektor keuangan syariah sebagai bahan bakar potensial dari industri halal, belum mampunya level produksi memenuhi peningkatan konsumsi dalam negeri akan produk halal, tata kelola yang belum baik, belum optimalnya pemanfaatan teknologi, serta standar halal yang belum dapat menyesuaian kebutuhan baik di level nasional maupun global.

Hal senada diungkapkan oleh Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia, Rahmatina Awaliah Kasri. Kurangnya literasi dan kesadaran masyarakat, juga menjadi pengganjal industri halal.

“Terutama berkaitan dengan halal lifestyle, termasuk di dalamnya konsumsi makanan dan minuman halal, terutama yang bersertifikasi halal,” ujar Rahmatina. Selain itu, skala usaha dari ekonomi syariah di Indonesia, terutama industri halal dan keuangan syariah, masih relatif kecil.

Perbankan syariah, misalnya, market share baru sekitar 5 persen. “Itu sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, angkanya stagnan di 5 persen. Hal yang sama juga di asuransi syariah dan sektor keuangan syariah lain,” tuturnya.

Merujuk Global Islamic Economy Indicator, Indonesia masih menempati urutan kesepuluh dalam peringkat negara-negara produsen produk halal, jauh di bawah Malaysia yang menduduki posisi pertama.

Pengamat Ekonomi Syariah dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov posisi Indonesia bahkan di bawah Australia dan Singapura yang notabene negara non-muslim. Indonesia, menurutnya, masih belum bisa menangkap potensi pasar industri halal, terutama di dalam negeri.

“Apalagi kita bicara lingkup pasar di luar negeri. Karena lingkup pasar di luar negeri tujuh kali lipat dibanding pasar di dalam negeri,” kata dia.

Padahal, Undang-Undang 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal dipandangnya bisa menjadi payung hukum bagi Indonesia untuk mengembangkan industri produk halal, tidak hanya makanan dan minuman, namun juga pariwisata dan produk jasa lainnya.

Sekedar label atau gaya hidup?

Industri Halal Sekedar Label atau Gaya Hidup?

Seiring dengan menggeliatnya ekonomi syariah, kini label ‘halal’ semakin sering banyak ditemui, mulai dari makanan dan minuman halal, pariwisata halal, hingga, Halal Park. Di sisi lain, kecenderungan konservatisme agama dalam politik kian menggejala, dibarengi makin banyaknya khalayak yang ‘hijrah’. Syafira Desi dari L’mira Ethnique, berharap pengembangan industri halal tidak menjadi alat politik.

“Saya pikir lebih bijaksana kalau kita melihat bagaimana pemerintah setelah proses politik ini berakhir apakah benar-benar menjadi proyek yang akan diseriuskan atau hanya bahan politik,” kata Syarifa.

“Sebenarnya perjalanan ini panjang ya, sayang sekali kalau cuma untuk ajang mempolitisasi market muslim,” imbuhnya.

Share